Alergi adalah suatu reaksi kepekaan abnormal dari tubuh terhadap suatu benda tertentu. Orang yang alergi akan memperlihatkan gejala-gejala alergi jika terkena zat-zat tertentu.
Alergi pada dasarnya merupakan kelainan fisik. Bagaimanapun, stres emosional yang berat, rasa takut, cemas, amarah, dan rasa jengkel dapat merangsang sistem saraf sehingga memperberat atau mencetuskan timbulnya gejala alergi. Faktor pencetus lain adalah infeksi, asap rokok, polusi, cuaca dingin/panas, dan kelelahan.
Anak dengan salah seorang orang tuanya yang alergi mempunyai kemungkinan 30% menderita alergi. Akan tetapi, bila kedua orang tuanya menderita alergi, anak tersebut kemungkinan menderita alergi 60%. Selain itu, lingkungan dan pola hidup juga mencetuskan gejala alergi, misalnya debu rumah, tungau, binatang peliharaan, kecoa, jenis makanan tertentu (misalnya susu, telur, ayam), asap rokok, asap mobil, juga obat-obatan.
Perkembangan terapi alergi selama ini menunjukkan kemajuan yang pesat. Awalnya, pendekatan terapi alergi hanya dengan penyuluhan untuk pasien agar menghindar dari faktor penyebab alergi tersebut. Lalu dengan berkembangnya dunia farmasi, beberapa jenis obat digunakan untuk meminimalisasi gejala yang timbul akibat alergi, misalnya antihistamin. Akan tetapi, obat-obatan ini tidak menyelesaikan permasalahan.
Pendekatan terapi beralih imunoterapi. Terapi ini melakukan pemberian berulang jenis zat yang diketahui menimbulkan reaksi alergi pada pasien tersebut. Pendekatan imunoterapi merupakan pencegahan dan perlindungan dari gejala alergi dan reaksi radang yang dapat timbul bila pasien kontak dengan alergen (zat yang menimbulkan alergi).
Terapi terkini adalah bioresonansi. Cara ini dapat mengatasi gejala alergi. Terapi ini menggunakan pendekatan ilmu fisika gelombang/kuantum, yaitu ilmu fisika yang berdasarkan pada teori Einstein. Salah satu pengembangan ilmu biofisika ini sudah diterapkan sejak lama di bidang kedokteran pada alat rekam jantung atau yang lebih dikenal dengan EKG (elektro kardiogram).
Dalam biofisika, setiap substansi terdiri dari energi, juga menghasilkan energi. Dengan energi yang berupa gelombang/resonansi (getaran) inilah, sel-sel tubuh kita berkomunikasi satu sama lain pada frekuensi tertentu. Jika komunikasi antarsel ini berjalan harmonis, berarti orang itu ada dalam kondisi sehat. Namun, kalau komunikasi antarsel ini terganggu oleh substansi yang memiliki frekuensi gelombang lain, fungsi organ tubuh juga dapat terganggu.
Dengan menggunakan alat Bicom Bioresonance, pola frekuensi yang menimbulkan penyakit dapat diubah menjadi pola frekuensi yang efektif dalam pemulihan fungsi kekebalan tubuh. Metode ini mampu mengeliminasi gelombang abnormal dari bahan asing/alergen dan mengalirkan gelombang normal tubuh sehingga akhirnya menghilangkan sensitivitas yang berlebihan terhadap alergen tersebut.
Sebelum menjalani terapi, dokter melakukan anamnesis, yaitu melihat riwayat alergi pasien, orang tua, atau keluarga. Di sini pasien harus memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada dokter. Pasien dideteksi dengan Bio Tensor (sensor logam) seperti alat pancing, untuk mengetahui alergi apa yang diderita pasien. Dasar teknologi ini adalah biofisika, pasien hanya duduk santai, kemudian dokter atau terapis memegang, mengoperasikan Bio Tensor dengan tangan kanan, dan ampul berisi cairan alergen di tangan kiri. Apabila Bio Tensor bergerak mendatar/horizontal, artinya pasien tidak menderita alergi. Kalau Bio Tensor bergerak vertikal/naik turun, artinya pasien menderita alergi zat tersebut. Pasien dideteksi dengan 40 macam alergen atau lebih, yang memakan waktu sekitar 15 menit, dan hasilnya saat itu juga bisa diketahui.
Cara lain untuk mendeteksi alergi, sebelah tangan pasien memegang ampul berisi cairan alergen, tangan yang sebelah lagi diangkat kemudian oleh terapis ditekan, pasien harus menahan tekanan terapis. Kalau tidak bisa menahan/lemah, artinya pasien memang alergi. Sebaliknya, kalau bisa menahan tekanan terapis, artinya pasien tidak alergi terhadap alergen tersebut.
0 komentar:
Post a Comment